Copyright © Light After Darkness
Design by Dzignine
Jumat, 13 Maret 2015

Belajar Mengenal Apoteker...

Dear All, 
Suatu hari saat kuliah, saya mendapat tugas untuk mencari tingkat pengetahuan masyarakat umum terhadap keberadaan Apoteker. Tujuannya adalah mengetahui seberapa jauh masyarakat umum sudah mengenal, mengetahui atau minimal "pernah mendengar" siapa apoteker itu. Penilaian tingkat pengetahuan ini tidak menggunakan kuisioner atau alat pengumpulan data resmi lainnya, namun hanya sebatas melakukan wawancara sederhana.

Responden yang harus dicari harus dalam tingkat umur yang berbeda, dan saya kebagian nyari info dengan koresponden remaja. Kebetulan di dekat rumah ada tetangga yang umurannya siswa kelas 2 SMP sehingga dengan mudah saya culik  untuk saya interograsi..ehh bukan maksudnya wawancara. Berikut adalah bukti transkrip percakapan kami yang  sangat secret  (A : aku, B: Anak SMP) (BTW, jika secret kenapa malah dishare disini ? --____--- " ):

A: De, mau tanya nih, pernah denger yang namanya Apoteker ?
B: Emm... (mikir) pernah.
A: Bisa dijelasin engga, Apoteker itu siapa ?
B: Ya yang jaga di Apotik itu mas, yang ngelayani obat.
A: Tau engga kerjaanya Apoteker itu ngapain ?
B: Ya paling buat obat, trus jual obat.
A: Biasanya Apoteker kerjanya dimana aja sih ?
B: Di apotik mas. Emang mana lagi ? (balik tanya)
A: emmm (pura-pura bingung...) ya mungkin ditempat lain bisa kali seperti di Rumah sakit.... eh kalau kamu liat ada apoteker, tau bedanya apoteker sama dokter dan perawat ? mungkin dari baju yang dipakai ? (nyoba mancing jawaban)
B: Ya beda mas dokter pakai jas gitu, Apoteker engga tau pake baju apa,,, kalo di Apotik si baju biasa.
A: Pertanyaan terakhir, kalo ade mau nanya-nanya tentang obat, harusnya kamu tanya ke siapa ?
B: Ya jelas dokter toh mas.
A: wokeyyy makasi jawabannya
B:Wokey mas... Cepeceng dong (haha ini mah boongan)


Saya mencoba menganalisa jawaban jawab dari si anak tadi, dan saya kira jawaban memang  lazim disampaikan oleh masyarakat awam kebanyakan. Jawaban ini sedikit banyak mewakili gambaran eksistensi Apoteker dimata anak-anak atau bahkan masyarakat yang lebih dewasa. Konklusi sederhananya adalah : Apoteker sudah didengar eksistensinya, namun perwujudan nyatanya belum begitu dikenal (berasa ghaib ?).

Tapi balik lagi ke pengalaman saya sewaktu masih remaja (ohh pernah remaja juga toh saya ?), sampai lulus SMA pun saya sendiri tifak familiar tentang bagaimana Farmasi dan siapa Apoteker itu ?. Bisa jadi karena faktor saya yang kurang pengetahuan atau kurang gaul. Tapi jika saya yang mengenyam pendidikan saja tidak terlalu mengenal, lantas bagaimana dengan masyarakat umum  menengah bawah yang jarang berinteraksi dengan pendidikan juga akan mengenal ? kecuali yang pernah sakit, nebus obat ke apotek, dan kebetulan ketemu apoteker disana mungkin akan kenal. Saya yakin sebenarnya Apoteker dari dulu sudah mulai eksis dan terus mencoba eksis,  dan yang dibutuhkan saat ini adalah era eksis secara menyeluruh dan konsisten agar bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.


Pengalaman lagi saat menjalani Kuliah kerja nyata, dimana saya mengaku sebagai mahasiwa farmasi. Saya selalu diinterograsi  oleh warga desa tempat saya KKN. Mereka selalu penasaran, farmasi itu apa ? dan kedepannya mau bekerja sebagai apa dan dimana ?. Apakah mau jadi ahli obat ? Kerja di Apotik ? kerja di Rumah sakit ? atau jadi dokter ?...wait...dokter ? "maaf pak atau ibu.. saya bukan menjadi Dokter, tapi jadi Apoteker.. Apoteker itu blablabla..." (sekalian numpang promosi diri dan profesi hehe). Tapi tetep saja besok kalau ketemu lagi di jalan, mereka bilang "eh..mas calon dokter..">.<. Bahkan saat saya PKPA (Praktek Kerja Profesi Apoteker..emmm semacam PKL nya mahasiswa profesi Apoteker) di manapun, saat saya jelas memakai jas PKPA berwarna putih lengan pendek ber name tag di dada bertuliskan Apoteker Muda, tetap saja dipanggil "Dok".

Hal simple yang bisa kita lihat adalah ketika melakukan pelayanan kefarmasian dimanapun, Apoteker sulit dibedakan dengan profesi kesehatan lain. Jangankan dengan tenaga kesehatan,  dengan tenaga non kesehatan atau bahkan dengan pasiennya pun sulit dibedakan (sama-sama pucat wajahnya? yang satu kurang sehat yang satu kurang piknik hihihi). Pengalaman lagi ketika saya membeli obat di sebuah Apotik, yang melayani saya waktu itu adalah mba-mba pake kaos, sandal jepit (disitu semua karyawan pakaiannya sama stylenya, yaitu pakai kaos dan sandal jepit), jadi tidak bisa membedakan yang itu adalah siapa, dan yang ini adalah siapa. Waktu saya nanya ke mba yang lain apakah boleh ketemu dengan Apotekernya,  ternyata mba yang nglayani saya pertama kali  tadi adalah Apotekernya (maaf mba Apoteker, saya ngga tau dirimu ternyata yang saya cari ternyata.. hehe cuma bisa nyengir kuda). Tapi masih mending, Apotekernya hadir dan TERSEDIA melayani hehe.
 
Okelah kita memang tidak boleh melakukan judgement terhadap seseorang dari tampilan, tapi sayang banget kalau kita tidak memanfaatkan sebuah teori kepercayaan sederhana, bahwa sebelum kita mengenal seseorang lebih dalam, kita hanya mengandalkan kepercayaan dari tampilan luar orang tersebut. Kita bukan sedang membahas masalah estetika, style atau pencitraan, tapi ini lebih kepada eksistensi yang memberikan pertanggung jawaban moral terhadap pelayanan pasien. Jika para Apoteker eksis berada di garda terdepan dengan wujud yang nyata, maka berapa besar keefektifan dan keamanan obat pasien akan terjamin ? tentu pelayanan, terutama terkait informasi yang komprehensif pada masyarakat terkait obat akan lebih banyak menghiasi role play kefarmasian kita dibandingkan sekedar "jual beli obat".

Mungkin para penjaga apotik yang senior (saya bahkan tidak tahu lulusan apa beliau-beliau ini), atau asisten apoteker kadang justru lebih jago dalam hal ngelayani atau komunikasi dengan pelanggan, sedangkan Apoteker yang punya ilmu yang didapat dari kuliahnya yang memusingkan (ada farmakoterapi, PIO, konseling dsb), justru tampil "misterius di belakang layar". Padahal Ilmu yang ada tentu sayang kalau tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Saran saya untuk sejawat Apoteker, jika tidak bisa berbicara panjang lebar ramah tamah basa basi kepada masyarakat, berbicaralah seperlunya namun penuh hikmah dan manfaat. Ucapan yang dimaksud adalah Ucapan yang benar dan memberikan niatan tulus ikhlas mendayagunakan keilmuannya untuk kesehatan pasien. Toh sebenarnya Apoteker tidak perlu yang namanya demam panggung bertatapan langsung dengan pasien di etalase terdepan. Coba sebutkan kemampuan berbicara apa yang tidak kalian latih semenjak kuliah atau sekolah ?

Ketika Kuliah, saya kira Apoteker sudah berulang kali melakukan hal yang namanya presentasi. Entah secara kelompok maupun individu. Banyak juga menjalani ujian lisan, entah itu ujian responsi atau ujian Komprehensif. Belum lagi segudang kegiatan intra dan ekstra kampus yang diikuti, tentu melatih kemampuan bicara. So,apa yang ditakutkan dari berhadapan langsung dengan pasien ? Secara kemampuan intelegensi, Apoteker adalah orang-orang terpilih yang mampu dan mau menempuh pendidikan farmasi yang sulit (Buktinya bisa lulus dari sederetan makul kimia dan biologi berbagai varian, udah kaya makanan aja pake varian menu ><). Masalah skill komunikasi sejatinya akan berkembang selama terus dilatih untuk active speaking. Jadi sebenarnya tidak perlu khawatir berlebihan atau minder berinteraksi dengan orang lain.

Jika Apoteker tidak mengeksiskan diri, akan semakin jarang orang kenal dengan Apoteker. Jika kebanyakan orang tidak kenal Apoteker, maka jangan harap cita-cita anak kecil di masa depan menjadi Apoteker (tapi memang ada ya sejak kecil sudah bercita-cita jadi Apoteker ?). Harusnya Apoteker atau dunia Farmasi secara keseluruhan merubah stigma pandangan terhadap bidang mereka yang menyebutkan bahwa farmasi adalah bidangnya "banting stir" anak-anak yang gagal masuk jurusan favorit mereka saat akan masuk kuliah, seperti kedokteran , teknik  dsb.

Sekali lagi ini adalah renungan bersama bahwa Apoteker itu mempunyai peran dalam memastikan obat yang Efektif, Efisien, Berkualitas dan Aman untuk masyarakat. Banyak cara untuk bisa eksis dikenal misalnya selalu standbyei di tempat praktik menjadi garda terdepan pelayanan kefarmasian; menggunakan atribut pengenal misal name tag, jas profesi warna putih tulang, atau papan nama. Biasanya sih Apoteker jarang yang mau menggunakan jas, karena dikira mirip dengan profesi sejawat lain. Tapi kalau berpraktek di Rumah sakit dan Apotek, saya pernah melihat ada senior sejawat yang menggunakan jas tersebut, tapi kalau di Industri... its never happened

Allah SWT Maha Besar lagi Maha luas dengan segala ilmunya. Ilmu yang diketahui Apoteker saat ini mungkin hanya sekecil debu saja dibandingkan ilmu Allah, dan para Apoteker hanya mengemban amanah untuk menyampaikan ilmunya untuk kemanfaatan orang lain. Artinya Allah memberi kepercayaan, memberi tanggung jawab bagi kita sebagai hambaNya yang harus bertaqwa, dengan ilmu tersebut kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya. Selain itu juga meneladani sifat Rasulullah SAW yang bersifat Tabligh (menyampaikan), maka kita harus sampaikan kebaikan ilmu itu kepada orang lain. 

Ini adalah renungan bagi diri saya sendiri... tidak ada maksud menggurui, sebab tulisan ini hanyalah refleksi kehidupan... untuk apa hidup kita, untuk apa masa muda kita. Nanti semua akan dipertanyakan.
  
"Ini bukan masalah Show Up, atau hanya sekedar dikenal dan terkenal, tapi ini adalah tanggung jawab moral sebagai profesi yang telah disumpah untuk memberikan kebaikan kepada masyarakat... ini adalah hidup yang akan dipertanyakan"
Best Regards,