Suatu
hari saat kuliah, saya mendapat tugas untuk mencari tingkat pengetahuan masyarakat umum terhadap keberadaan Apoteker. Tujuannya adalah mengetahui seberapa jauh masyarakat umum sudah mengenal, mengetahui atau minimal "pernah
mendengar" siapa apoteker itu. Penilaian tingkat pengetahuan ini tidak
menggunakan kuisioner atau alat pengumpulan data resmi lainnya, namun hanya
sebatas melakukan wawancara sederhana.
Responden yang harus dicari harus dalam tingkat umur yang berbeda, dan saya kebagian nyari info dengan koresponden remaja. Kebetulan di dekat rumah ada tetangga yang umurannya siswa kelas 2 SMP sehingga dengan mudah saya culik untuk saya interograsi..ehh bukan maksudnya wawancara. Berikut adalah bukti transkrip percakapan kami yang sangat secret (A : aku, B: Anak SMP) (BTW, jika secret kenapa malah dishare disini ? --____--- " ):
Responden yang harus dicari harus dalam tingkat umur yang berbeda, dan saya kebagian nyari info dengan koresponden remaja. Kebetulan di dekat rumah ada tetangga yang umurannya siswa kelas 2 SMP sehingga dengan mudah saya culik untuk saya interograsi..ehh bukan maksudnya wawancara. Berikut adalah bukti transkrip percakapan kami yang sangat secret (A : aku, B: Anak SMP) (BTW, jika secret kenapa malah dishare disini ? --____--- " ):
B: Emm... (mikir) pernah.
A: Bisa dijelasin engga, Apoteker itu siapa ?
B: Ya yang jaga di Apotik itu mas, yang ngelayani obat.
A: Tau engga kerjaanya Apoteker itu ngapain ?
B: Ya paling buat obat, trus jual obat.
A: Biasanya Apoteker kerjanya dimana aja sih ?
B: Di apotik mas. Emang mana lagi ? (balik tanya)
A: emmm (pura-pura bingung...) ya mungkin ditempat lain bisa kali seperti di Rumah sakit.... eh kalau kamu liat ada apoteker, tau bedanya apoteker sama dokter dan perawat ? mungkin dari baju yang dipakai ? (nyoba mancing jawaban)
B: Ya beda mas dokter pakai jas gitu, Apoteker engga tau pake baju apa,,, kalo di Apotik si baju biasa.
A: Pertanyaan terakhir, kalo ade mau nanya-nanya tentang obat, harusnya kamu tanya ke siapa ?B: Ya jelas dokter toh mas.
A: wokeyyy makasi jawabannya
B:Wokey mas... Cepeceng dong (haha ini mah boongan)
Saya
mencoba menganalisa jawaban jawab dari si anak tadi, dan saya kira jawaban memang lazim
disampaikan oleh masyarakat awam kebanyakan. Jawaban ini sedikit
banyak mewakili gambaran eksistensi Apoteker dimata anak-anak atau bahkan
masyarakat yang lebih dewasa. Konklusi sederhananya adalah : Apoteker sudah didengar eksistensinya, namun
perwujudan nyatanya belum begitu dikenal (berasa
ghaib ?).
Tapi
balik lagi ke pengalaman saya sewaktu masih remaja (ohh pernah remaja juga toh saya ?), sampai lulus
SMA pun saya sendiri tifak familiar tentang bagaimana Farmasi dan siapa
Apoteker itu ?. Bisa jadi karena faktor saya yang kurang pengetahuan atau kurang
gaul. Tapi jika saya yang mengenyam pendidikan saja tidak terlalu mengenal,
lantas bagaimana dengan masyarakat umum menengah bawah yang jarang
berinteraksi dengan pendidikan juga akan mengenal ? kecuali yang pernah sakit, nebus obat ke apotek, dan kebetulan ketemu apoteker disana mungkin akan kenal. Saya yakin sebenarnya Apoteker dari dulu sudah
mulai eksis dan terus mencoba eksis, dan yang
dibutuhkan saat ini adalah era eksis secara menyeluruh dan konsisten
agar bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Pengalaman lagi saat menjalani Kuliah kerja nyata, dimana saya mengaku sebagai mahasiwa
farmasi. Saya selalu diinterograsi oleh warga desa tempat saya KKN. Mereka selalu penasaran, farmasi itu apa ? dan kedepannya mau bekerja sebagai apa dan dimana ?. Apakah mau jadi ahli obat ? Kerja di
Apotik ? kerja di Rumah sakit ? atau jadi dokter ?...wait...dokter ? "maaf pak atau ibu.. saya bukan menjadi Dokter, tapi jadi
Apoteker.. Apoteker itu blablabla..." (sekalian
numpang promosi diri dan profesi hehe). Tapi tetep saja besok kalau
ketemu lagi di jalan, mereka bilang "eh..mas calon
dokter..">.<. Bahkan saat saya PKPA (Praktek Kerja Profesi Apoteker..emmm semacam PKL nya mahasiswa profesi Apoteker) di manapun, saat saya jelas
memakai jas PKPA berwarna putih lengan pendek ber name tag di dada
bertuliskan Apoteker Muda, tetap saja dipanggil "Dok".
Hal
simple yang bisa kita lihat adalah ketika melakukan pelayanan
kefarmasian dimanapun, Apoteker sulit dibedakan dengan profesi kesehatan
lain. Jangankan dengan tenaga kesehatan, dengan tenaga non kesehatan atau
bahkan dengan pasiennya pun sulit dibedakan (sama-sama pucat wajahnya? yang satu kurang sehat yang satu kurang piknik hihihi). Pengalaman lagi
ketika saya membeli obat di sebuah Apotik, yang melayani saya waktu itu adalah
mba-mba pake kaos, sandal jepit (disitu semua
karyawan pakaiannya sama stylenya, yaitu pakai kaos dan sandal jepit),
jadi tidak bisa membedakan yang itu adalah siapa, dan yang ini adalah siapa.
Waktu saya nanya ke mba yang lain apakah boleh ketemu dengan Apotekernya,
ternyata mba yang nglayani saya pertama kali tadi adalah Apotekernya (maaf mba Apoteker, saya ngga tau dirimu ternyata yang saya cari ternyata.. hehe cuma bisa nyengir kuda). Tapi masih mending,
Apotekernya hadir dan TERSEDIA melayani hehe.
Okelah
kita memang tidak boleh melakukan judgement terhadap seseorang dari
tampilan, tapi sayang banget kalau kita tidak memanfaatkan sebuah teori
kepercayaan sederhana, bahwa sebelum kita mengenal seseorang lebih dalam,
kita hanya mengandalkan kepercayaan dari tampilan luar orang tersebut. Kita
bukan sedang membahas masalah estetika, style atau pencitraan, tapi ini lebih
kepada eksistensi yang memberikan pertanggung jawaban moral terhadap pelayanan
pasien. Jika para Apoteker eksis berada di garda terdepan dengan wujud yang
nyata, maka berapa besar keefektifan dan keamanan obat pasien akan terjamin ?
tentu pelayanan, terutama terkait informasi yang komprehensif pada masyarakat terkait obat
akan lebih banyak menghiasi role play kefarmasian kita dibandingkan sekedar "jual beli obat".
Mungkin
para penjaga apotik yang senior (saya bahkan tidak
tahu lulusan apa beliau-beliau ini), atau asisten apoteker kadang justru
lebih jago dalam hal ngelayani atau komunikasi dengan pelanggan,
sedangkan Apoteker yang punya ilmu yang didapat dari kuliahnya yang
memusingkan (ada farmakoterapi, PIO, konseling dsb), justru tampil "misterius di belakang layar". Padahal Ilmu yang ada tentu
sayang kalau tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Saran saya untuk sejawat
Apoteker, jika tidak bisa berbicara panjang lebar ramah tamah basa basi kepada
masyarakat, berbicaralah seperlunya namun penuh hikmah dan manfaat. Ucapan yang
dimaksud adalah Ucapan yang benar dan memberikan niatan tulus ikhlas
mendayagunakan keilmuannya untuk kesehatan pasien. Toh sebenarnya Apoteker
tidak perlu yang namanya demam panggung bertatapan langsung dengan
pasien di etalase terdepan. Coba sebutkan kemampuan berbicara apa yang tidak
kalian latih semenjak kuliah atau sekolah ?
Ketika
Kuliah, saya kira Apoteker sudah berulang kali melakukan hal yang namanya
presentasi. Entah secara kelompok maupun individu. Banyak juga menjalani ujian
lisan, entah itu ujian responsi atau ujian Komprehensif. Belum lagi segudang
kegiatan intra dan ekstra kampus yang diikuti, tentu melatih kemampuan bicara. So,apa yang ditakutkan dari berhadapan langsung dengan pasien ? Secara
kemampuan intelegensi, Apoteker adalah orang-orang terpilih yang mampu dan mau
menempuh pendidikan farmasi yang sulit (Buktinya bisa
lulus dari sederetan makul kimia dan biologi berbagai varian, udah kaya makanan aja pake
varian menu ><). Masalah skill komunikasi sejatinya akan
berkembang selama terus dilatih untuk active speaking. Jadi sebenarnya
tidak perlu khawatir berlebihan atau minder berinteraksi dengan orang lain.
Jika
Apoteker tidak mengeksiskan diri, akan semakin jarang orang kenal dengan Apoteker. Jika kebanyakan orang tidak
kenal Apoteker, maka jangan harap cita-cita anak kecil di masa depan menjadi
Apoteker (tapi memang ada ya sejak kecil sudah bercita-cita jadi Apoteker ?). Harusnya Apoteker atau dunia Farmasi secara keseluruhan merubah stigma pandangan terhadap bidang
mereka yang menyebutkan bahwa farmasi adalah bidangnya "banting
stir" anak-anak yang gagal masuk jurusan favorit mereka saat akan
masuk kuliah, seperti kedokteran , teknik dsb.
Sekali
lagi ini adalah renungan bersama bahwa Apoteker itu mempunyai peran dalam
memastikan obat yang Efektif, Efisien, Berkualitas dan Aman untuk
masyarakat. Banyak cara untuk bisa eksis dikenal misalnya selalu standbyei di tempat praktik
menjadi garda terdepan pelayanan kefarmasian; menggunakan atribut pengenal
misal name tag, jas profesi warna putih tulang, atau papan nama. Biasanya sih Apoteker
jarang yang mau menggunakan jas, karena dikira mirip dengan profesi sejawat
lain. Tapi kalau berpraktek di Rumah sakit dan Apotek, saya pernah melihat ada
senior sejawat yang menggunakan jas tersebut, tapi kalau di Industri... its
never happened
Allah
SWT Maha
Besar lagi Maha luas dengan segala ilmunya. Ilmu yang diketahui Apoteker saat
ini mungkin hanya sekecil debu saja dibandingkan ilmu Allah, dan para Apoteker hanya mengemban amanah untuk menyampaikan ilmunya untuk kemanfaatan orang lain. Artinya Allah
memberi kepercayaan, memberi tanggung jawab bagi kita sebagai hambaNya yang
harus bertaqwa, dengan ilmu tersebut kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya.
Selain itu juga meneladani sifat Rasulullah SAW yang bersifat Tabligh
(menyampaikan), maka kita harus
sampaikan kebaikan ilmu itu kepada orang lain.
Ini
adalah renungan bagi diri saya sendiri... tidak ada maksud menggurui, sebab tulisan ini
hanyalah refleksi kehidupan... untuk apa hidup kita, untuk apa masa muda kita. Nanti
semua akan dipertanyakan.
"Ini bukan masalah Show Up, atau hanya sekedar dikenal dan terkenal, tapi ini adalah tanggung jawab moral sebagai profesi yang telah disumpah untuk memberikan kebaikan kepada masyarakat... ini adalah hidup yang akan dipertanyakan"